Tarif Pajak Kripto Berubah, Simak Penjelasan OJK!
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4740422/original/078699100_1707701814-fotor-ai-2024021283356.jpg)
Table of Contents
Dalam perkembangan terbaru yang mencakup dunia aset kripto, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan penilaian positif terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. Aturan ini mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang diterapkan pada transaksi perdagangan aset kripto. Menurut OJK, regulasi ini memberikan kepastian hukum yang sangat penting dan lebih terperinci untuk sektor yang sedang berkembang pesat ini.
Hasan, sebagai perwakilan OJK, mengungkapkan bahwa transaksi aset kripto kini diakui sebagai surat berharga. Ini berarti bahwa transaksi tersebut akan dibebaskan dari pengenaan PPN. Pernyataan ini diungkapkan dalam konferensi pers yang diadakan setelah Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RKDB) pada bulan Juli 2025, tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2025. Hal ini menandai titik balik penting dalam pengaturan pajak untuk aset kripto di Indonesia.
Kebijakan baru ini juga mencakup insentif bagi penyelenggara di sektor keuangan digital. OJK berencana untuk menyesuaikan kewajiban pungutan tahunan guna membantu pelaku industri bertumbuh. Hasan menekankan pentingnya regulasi yang dapat memenuhi kebutuhan industri serta memberikan dukungan pada fase awal pengembangannya. Sebagai langkah awal, OJK menetapkan tarif pungutan sebesar 0 persen untuk tahun pertama, yang akan dilanjutkan dengan penyesuaian tarif selama empat tahun ke depan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, juga mencatat bahwa salah satu perubahan yang paling signifikan dalam regulasi ini adalah penghapusan PPN atas transaksi kripto. PPN sebelumnya dikenakan, baik untuk transaksi yang melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) maupun non-Bappebti, dengan tarif yang bervariasi antara 0,11% dan 0,22%. Dengan penghapusan ini, pelaku industri kripto diharapkan dapat memaksimalkan potensi mereka tanpa beban pajak tambahan.
Lebih dalam, Hasan menjelaskan bahwa regulasi baru ini mencerminkan dukungan pemerintah terhadap penggunaan platform aset kripto yang sah dan terdaftar di dalam negeri. Penekanan pada klasifikasi aset kripto sebagai aset keuangan digital memposisikan aset ini setara dengan surat berharga. Dengan langkah ini, tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk transaksi melalui platform dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan transaksi luar negeri, yang dapat dikenakan tarif hingga lima kali lipat.
Untuk transaksi melalui pelaku perdagangan dengan sistem elektronik (PPMSE) lokal, tarif pajak yang diberlakukan adalah sebesar 0,21%. Hasan menegaskan bahwa sektor ini masih memerlukan dukungan yang kuat, terutama pada tahap awal. Komitmen OJK untuk menciptakan kondisi persaingan yang adil sangat penting agar industri kripto dalam negeri dapat bersaing efektif dengan pelaku global di pasar internasional.
OJK berharap, dengan pengenalan klasifikasi baru sebagai surat berharga, kripto tidak lagi dikenakan PPN. Sebagai alternatif, terdapat penyesuaian tarif pada PPh Pasal 22 Final. Hasan menunjukkan harapannya agar berbagai pihak—regulator, pelaku industri, dan masyarakat—dapat bersinergi dalam mendorong kebijakan serta insentif yang berorientasi pada pengembangan industri aset keuangan digital dan kripto di Indonesia.
Kesetaraan dalam regulasi ini diharapkan dapat menjadikan Indonesia bukan hanya sebagai pasar, melainkan juga sebagai pemimpin di industri aset digital di kawasan regional. Untuk transaksi luar negeri, tarif pajak yang akan dikenakan adalah 1%, yang akan dipungut oleh PPMSE asing atau dapat disetor langsung oleh wajib pajak. Dengan penyesuaian yang dilakukan, diharapkan dapat menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi pertumbuhan industri kripto di tanah air.
Dengan adanya perubahan ini, diharapkan bahwa industri kripto Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang signifikan, beriringan dengan kepastian hukum dan dukungan regulasi yang semakin kuat.
✦ Tanya AI